Sejarah Epidemi Penyakit dan Sanitasi

Pendekatan relijius dan mistis untuk mengatasi wabah sering kali menjadi hambatan untuk mengatasi penyakit yang disebabkan oleh mikroba. Opini Nadya Karima Melati.
Bildergalerie Wasser in Angola
Dia mengantar kami berjalan mengelilingi tembok kota Wismar, Jerman Utara dan seakan-akan pria ini sudah familiar dan sudah berkali-kali berada di tempat ini. Wismar seperti tipikal kota-kota awal di Eropa yang dikeliling tembok sebagai benteng yang kini masih terawat bentuknya. Pria dengan rambut yang pirang dan hidung yang tinggi ini adalah kerabat saya yang berdarah Jerman-Slovenia. Sembari melebarkan kedua tangannya dia berkata kepada saya, “Nadya apa kamu tahu pada masa dulu anak-anak sejak usia lima tahun di daerah diberi minum bir karena sulitnya menemukan air bersih untuk diminum?”. Saya menganguk saja karena tidak mengenal banyak sejarah Eropa khususnya Jerman. Berdasarkan pemaparannya, Eropa sangat memprioritaskan kebersihan dan higienitas dan masalah kebersihan dan kesehatan sebagai perlambang dari penduduk negara Dunia Pertama yang modern. Tentunya kebiasaan higienis ini berdasarkan pengalaman penduduk Eropa terhadap epidemi penyakit mematikan yang pernah melanda pada sekitar tahun 1346 masehi dan membunuh hampir seperempat penduduknya. Kota Wismar sebagai kota pelabuhan cukup penting ketika laut menjadi sarana transportasi manusia untuk saling berpindah. Penulis: Nadya Karima Melati Perpindahan manusia dan pertambahan penduduk adalah alasan untuk mengerti bagaimana epidemi penyakit menyebar dan dimulainya kebiasaan kebersihan dan sanitasi. Hampir seluruh peradaban bangsa di bumi ini mengenal wabah akibat kontak dan belajar dari kematian yang disebabkan olehnya. Tulisan ini membahas bagaimana sejarah wabah sebagai pembelajaran untuk penyebaran gaya hidup bersih dan sanitasi pada hari ini. Populasi dan Mobilisasi Peralihan gaya hidup berburu dan meramu manusia menjadi bertani dan menetap memberi beberapa implikasi. Beberapa sejarawan menyatakan bahwa peralihan gaya hidup ini sesungguhnya merupakan kesalahan besar karena memicu pada permulaan kepemilikan pribadi, kemunculan struktur masyarakat, pertanian yang menghabiskan banyak waktu untuk bekerja mengurus lahan daripada berburu, dan juga pertambahan penduduk dan berkembangnya penyakit. Kebangkitan pertanian adalah berkah bagi mikroba. Ditambah dengan pemukiman yang padat dan hidup yang berdempet-dempetan dan menggunakan air, buang air dari lokasi yang sama. Penyakit merepresentasikan evolusi yang sedang berjalan dan mikroba beradaptasi melalui seleksi alam terhadap inang dan faktor baru. Mikroba yang menjadi penyebab banyak penyakit berkembang untuk bertahan hidup dan bereproduksi muncul sebagai akibat dari domestifikasi hewan yang mulai dilakukan manusia danpenyebaran mikroba bersamaan dengan perpindahan manusia. Kontak manusia dengan hewan peliharaan atau hewan-hewan kecil lainnya yang membuat mikroba menemukan inang baru untuk ditempati dan berkembang biak. Sebut saja penyakit Pes yang melanda Eropa dan membunuh sepertiga penduduknya dibawa oleh kutu dan air kencing tikus. Begitu juga penyakit tipus yangs empat epidemik di Amerika Utara yang disebabkan oleh bajing yang tinggal di loteng rumah penduduk. Wabah cacing pita yang ditularkan oleh babi atau antrax yang dibawa sapi yang terkena infeksi di Australia. Selain kontak dengan hewan, manusia sendiri menjadi inang untuk menyebarkan penyakit hingga menjadi wabah. Mobilisasi atau perpindahan manusia adalah alasan mengapa penyakit bisa menyebar. Alasan perpindahan tersebut bisa beragam mulai dari kolonialisasi, eksodus atau memang menghindar dari wabah. Penyakit Pes bisa berkembang luar biasa di seluruh Eropa juga diakibatkan oleh para orang kaya yang berpindah ketika mengetahui bahwa lingkungannya telah terjangkit tanpa sadar mereka membawa serta mikroba yang keburu melekat ke wilayah yang baru. Pada penyakit cacar contohnya, jika salah satu manusia berasal dari satu lingkungan sudah menjadi kebal terhadap penyakit tersebut dan tidak sengaja membawanya ke lingkungan di mana manusia-manusia pada lingkungan baru tersebut belum pernah terpapar dan tidak memiliki imun terhadap penyakit tersebut maka wabah bisa dimulai.
  • Indien Fluss Ganges (Reuters/D. Siddiqui)SUNGAI GANGGA ANTARA SAMPAH DAN MAYAT MANUSIASampah Mengalir di Sungai GanggaSetiap tahun 115.000 ton sampah plastik mengotori sungai Gangga di India. Padahal sungai yang mengalir dari pegunungan Himalaya hingga ke Teluk Bengal itu menghidupi 450 juta orang. Bukan hanya sampah, polusi limbah pabrik dan rumah tangga mempercepat kematian sungai suci yang sering dijuluki “ibu” oleh warga setempat itu.
Belajar dari Sejarah Wabah Sesungguhnya, penyakit khususnya yang menjadi epidemi, membunuh lebih banyak manusia di muka bumi ini dibandingkan perang. Prajurit pada perang dunia pertama lebih banyak meninggal akibat disentri daripada terbunuh dalam pertempuran itu sendiri. Sejarah juga mencatat bagaimana menyerahnya bangsa Aztek pada kolonial Spanyol pada 1519 juga akibat tersebarnya wabah cacar yang sampai merenggut Kaisar Cuitlahuac sebagai pemimpin bangsa Aztek. Bukan (hanya) persenjataan Spanyol dan strategi berperang yang memenangkan tapi ketidaksengajaan budak yang terkena penyakit cacar yang dibawa kolonial Spanyol lah yang membuat bangsa Aztek akhirnya tunduk. Penyakit ini yang membuat seakan-akan menandakan bahwa orang-orang Spanyol tidak bisa disentuh dan ditaklukan. Penyakit menjadi sebuah epidemi atau wabah berdasarkan definisi Undang-undang negara Indonesia Nomor 4 tahun 1984 yakni “berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi … keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka”. Sedangkan Jared Diamond dalam bukunya The World Until Yesterday mencoba menjelaskan asal-usul wabah dan bagaimana penangannya sampai hari ini. Jared menyebut wabah menular dengan crowd desease. Sebuah penyakit terbatas pada populasi manusia yang besar, berjumlah mencukupi sehingga bisa berpindah dari satu daerah, punah di satu tempat namun masih ada di bagian populasi yang lebih jauh. Penyakit-penyakit ditularkan secara efisien, berkembang secara akut, menimbulkan kekebalan seumur hidup pada korban-korban yang sintas dan terbatas pada manusia. Perkembangan akut sebuah penyakit adalah dalam waktu singkat semua orang dalam populasi setempat telah telah tertular penyakit tersebut kemudian berstatus almarhum atau sembuh sama sekali. Bagaimana dengan pengalaman Nusantara dengan wabah? STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia yang selalu didaulat sebagai cikal-bakal Universitas Indonesia sesungguhnya adalah pendidikan khusus yang dibuat oleh pemerintah kolonial untuk mengatasi wabah cacar di kalangan penduduk jajahan. Sering kali wabah diperlakukan sebagai sesuatu yang mistis, disebabkan kutukan dari Tuhan atau karma bagi penduduk sebuah tempat tertentu. Dalam wabah, banyak masyarakat menjadi pasrah dalam menanganinya atau melakukan penalaran yang tidak masuk akal dengan pendekatan relijius.
  • Indonesien Toiletten-Restaurant Jamban CafeCAFE JAMBAN KAMPANYEKAN TOILET BERSIHKonsep NyelenehCafe Jamban di Semarang punya cara unik buat mengundang pengunjung. Pemiliknya mengusung konsep restoran bertemakan toilet. Sesuai namanya, Cafe Jamban menyajikan hidangan di dalam toilet jongkok berwarna warni.
Pentingnya Vaksin dan Sanitasi Pendekatan relijius dan mistis untuk mengatasi wabah sering kali menjadi hambatan untuk mengatasi benar-benar penyakit yang disebabkan oleh mikroba. Hal ini yang menjadi bahaya bagi peradaban manusia yang sesungguhnya. Pemahaman terhadap penyakit, mekanisme yang mendasarinya dan mengenai pengobatan dan tindakan pencegahan yang efektif adalah hal yang paling dibutuhkan. Banyak penyakit ditimbulkan oleh lingkungan yang tidak sehat seperti pes dan demam berdarah. Vaksin adalah solusi yang tepat unutk mencegah cacar dan campak menjadi epidemi di masyarakat karena bai-bayi yang baru lahir dan anak-anak memiliki kerentanan paling tinggi. Sanitasi dan promosi budaya kebersihan menjadi lebih penting lagi akibat banyaknya penyakit epidemik yang mudah sekali tersebar melalui sumber air. Sumber air yang tidak bersih selain menjadi wahana penyebaran mikroba itu sendiri juga menjadi tempat tinggal bagi hewan kecil yang mampu menjadi inang bagi mikroba penyebab penyakit. Apabila kepadatan penduduk menjadi syarat berkembangnya suatu penyakit menjadi epidemi, maka perbaikan gaya hidup bersih mampu menjadi gerbang utama untuk mencegahnya karena sebagaimana dikatakan pepatah, “lebih baik mencegah daripada mengobati.” Sumber : https://www.dw.com/id/sejarah-epidemi-penyakit-dan-sanitasi/a-41600629

Webinar Nasional: Praktik Baik Penerapan STBM GESI di Masa Pandemik COVID-19

Sekitar 2.000 peserta mengikuti webinar nasional yang bertema Praktik Baik Penerapan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang Berkesetaraan Gender dan Inklusif (STBM GESI) di Masa Pandemik COVID-19. Webinar ini diselenggarakan oleh Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) melalui WfW (Water for Women) dan WINNER (Women and Disability Inclusive and Nutrition SensitiveProject bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Media Indonesia, Rabu (22/07). Webinar ini melibatkan beberapa pembicara, yaitu: Silvia Devina, WASH & ECD Advisor Plan Indonesia, Yeni Veronika, SH, Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Akhwan, Sanitarian Puskesmas Batu Jangkih, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Serafina Bete, Ketua Persatuan Tuna Daksa Kristiani (PERSANI) Organisasi Penyandang Disabilitas NTT, H. Abdul Wahab, Kepala Desa Batu Bangka, Moyo Hilir, Sumbawa NTB. Selain beberapa pembicara di atas, webinar ini juga melibatkan dr. Imran Agus Nurali, Sp.KO, Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan sebagai penanggap dan Rosmery C. Sihombing dari Media Indonesia sebagai moderator.
Kegiatan yang dibuka langsung oleh Direktur Eksekutif Plan Indonesia, Dini Widiastuti ini melibatkan peserta dari berbagai wilayah kabupaten dan provinsi yang ada di Indonesia dan merupakan pelaku STBM dari berbagai kalangan, baik sebagai pelaku program STBM GESI maupun sebagai penerima manfaat. Praktik baik yang sudah dilakukan dari lapangan, di mana pelaku STBM berjuang sebagai garda terdepan dalam pencegahan COVID-19 melalui kampanye perubahan perilaku terutama Pilar 2, yaitu: Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS). Hal menarik dalam webinar ini adalah adanya kehadiran dari perwakilan Organisasi Penyandang Disabilitas NTT yang menyampaikan upaya mereka dalam membantu pencegahan penyebaran COVID-19 di lingkungan mereka. Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Imam Agus Naruli yang bertindak sebagai penanggap dalam webinar ini, menyampaikan bahwa jangan sampai ada masyarakat Indonesia yang terdiskriminasi dan tidak tersentuh program-program yang baik karena tidak terdata, terutama di masa pandemik COVID-19 saat ini. “ Ke depannya, Undang-Undang Kesehatan akan mengarah ke sana. Dana desa yang ada juga diharapkan dapat dimanfaatkan dalam pembangunan bukan hanya yang bersifat fisik, tapi juga non-fisik”, pungkas Imam.
Salah satu poin yang disoroti dalam diskusi daring ini adalah pelibatan perempuan dan komunitas disabilitas. Pelibatan semua pihak khususnya perempuan dan komunitas disabilitas terbukti mempercepat penyebaran informasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat. Kerja-kerja baik ini diungkapkan langsung oleh Ketua TP PKK Kabupaten Manggarai, Yeni Veronika, “PKK, gugus tugas, dan Plan Indonesia telah memiliki komitmen bersama untuk melakukan sosialisasi, promosi dan edukasi terkait perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).” Kami ingin mengubah pola pikir masyarakat terkait PHBS dari yang tidak tahu menjadi tahu, dan kami merasa 50 persen sudah sukses mengubah pola pikir mereka, tambahnya. Akwan yang sehari-hari bekerja sebagai Sanitarian di Puskesmas Batu Jangkih, Lombok Tengah, NTB setuju bahwa pelibatan perempuan, kader posyandu dan komunitas disabilitas terbukti mempercepat penyampaian informasi di masyarakat. “Seandainya akses dan informasi yang disediakan sudah inklusif, kehidupan normal baru dapat menjadi inklusif dan partisipatif dengan keterlibatan mereka,” ungkap Akwan. Dalam menghadapi pandemik COVID-19 saai ini, penyandang disabilitas merupakan kelompok paling rentan terdampak, sehingga pelibatan penyandang disabilitas dalam upaya pencegahan pandemik COVID-19 menjadi sangat penting. Hal ini dengan tegas disampaikan oleh Serafina Bete sebagai Ketua PERSANI NTT yang turut diundang dalam webinar ini, mengatakan: “Program penanganan pandemik COVID-19 ini harus mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas, hal ini sejalan dengan yang sudah dilakukan di Kabupaten Belu dan Malaka, NTT.” Penyandang disabilitas dapat terlibat penuh, baik dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang dilakukan bersama Lembaga Swadaya masyarakat (LSM), lanjutnya. Ia juga menambahkan bahwa dengan hadirnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, maka penyandang disabilitas tidak lagi dipandang lagi sebagai obyek pembangunan tetapi menjadi subyek pembangunan. Ivan Rangkuti, Direktur Pelayanan Sosial Dasar Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menambahkan bahwa sejak lahirnya Undang-undang Desa Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, pemerintah Indonesia melalui Anggaran, Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah mengucurkan dana desa untuk membiayai kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa dengan besaran yang bervariasi antara 800 juta hingga 1,2 milyar rupiah. “Dana desa ditujukan untuk mendorong desa menetapkan kegiatan prioritas untuk kebutuhan semua orang, direktorat sendiri sudah membuat panduan desa inklusi. Jadi dana desa untuk semua, tidak ada yang termarginalkan, 5 Pilar STBM yang GESI termasuk dalam 7 paket layanan dasar untuk pencegahan stunting yang menjadi target Kemendes,” ungkap Ivan Rangkuti. Dari semua pembelajaran di atas, dapat disimpulkan bahwa kolaborasi yang baik antara semua pihak baik internal maupun eksternal mampu mempercepat pembangunan nasional yang berkesetaraan gender dan inklusi. Air minum dan sanitasi layak yang berkesetaraan gender dan inklusi merupakan hak dasar manusia, tidak ada yang boleh ditinggalkan. Untuk memungkinkan hal tersebut, semua pelaku STBM harus memastikan partisipasi aktif masyarakat termasuk perempuan, penyandang disabilitas dan kelompok disabilitas, khususnya di situasi pandemik COVID-19 seperti yang saat ini sedang berlangsung. Sumber : https://plan-international.or.id/id/webinar-nasional-praktik-baik-penerapan-stbm-gesi-di-masa-pandemik-covid-19/

Simposium International Bahas Masalah Sanitasi di Indonesia

Sanitasi yang layak merupakan kebutuhan dasar dalam menunjang kesehatan manusia. Beberapa kajian menunjukkan hubungan signifikan antara sanitasi dengan kesehatan, sumber daya manusia, dan ekonomi. Terlebih pada masa pandemi Covid-19 di mana akses terhadap sanitasi amat erat kaitannya dengan upaya memutus mata rantai penularan virus. Di Indonesia sendiri, sanitasi masih menjadi masalah yang penting untuk diperhatikan. Masalah sanitasi yang ada di Indonesia antara lain, kematian anak akibat diare, buang air besar sembarangan karena tidak memiliki jamban pribadi, dan masih terbatasnya ketersediaan air bersih. Perilaku masyarakat memengaruhi keberlanjutan sistem sanitasi. Karena itulah, pendekatan sanitasi berbasis masyarakat merupakan hal penting untuk menciptakan sebuah rantai nilai (value chain) yang baru. Pendekatan ini melibatkan berbagai aspek pengetahuan, teknologi, dan budaya dalam sanitasi untuk mendorong nilai tersebut. Membahas hal tersebut, Loka Penelitian Teknologi Bersih Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LPTB LIPI) bekerja sama dengan Research Institute for Humanity and Nature Japan (RIHN) akan menggelar Online International Symposium on Sanitation Value Chain 2020 pada 9-10 Desember 2020. Beragam topik yang akan dibahas antara lain: humanity and sanitation, kesehatan masyarakat dan analisa resiko, model bisnis sanitasi, dan resources recovery and reuse in sanitation. Kepala LPTB LIPI, Ajeng Arum Sari menjelaskan webinar ini menjadi platform berbagi ilmu dan pengetahuan serta pengalaman mengenai rantai nilai sanitasi. “Di sini kita akan bicara bagaimana kita bisa lebih memahami permasalahan sanitasi, cara mengelolanya, dan mendapatkan manfaat dari pengelolaan sanitasi tersebut,” ungkapnya saat diwawancara pada Selasa (2/12). Tiga pembicara yang akan mengisi simposium adalah Saburo Matsui dari Kyoto University Jepang, Eeva-Liisa Viskari dari Tampere University Finlandia, dan Gun Gun Saptari Hidayat dari Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung. “Ketiga pembicara ini merupakan para ahli di bidang sanitasi dan telah berkontribusi dalam bidag tersebut. Dalam symposium ini, mereka akan memberikan ilmu dan pengalaman berharga terkait sanitasi,” tutur Ajeng. Selain paparan dari pembicara, ada pula kesempatan bagi penyaji untuk mendiskuskan ide-ide mereka. Nantinya, Extended abstract para penyaji akan diterbitkan di supplement Santiation Value Chain Journal. Ada pula penghargaan bagi penyaji terbaik dan poster terbaik. Ajeng berharap diskusi dan perturakan informasi pada ajang ini akan berlangsung secara komprehensif. “Diharapkan ilmu terkait sains dan teknologi sanitasi yang diperoleh pada simposium dapat diimplementasikan di masyarakat melalui kolaborasi antara peneliti dengan pemerintah, LSM, akademisi, dan masyarakat,” tandasnya. Sumber : http://lipi.go.id/siaranpress/simposium-international-bahas-masalah-sanitasi-di-indonesia/22274