Berkat Percaya Mitos, Kampung Adat Banceuy Bebas dari BAB Sembarangan

Aturan adat atau kepercayaan terhadap mitos tertentu seringkali membuat masyarakat lebih sulit untuk mengubah kebiasaan lamanya. Tapi di Kampung Banceuy, kepercayaan terhadap adat dan mitos justru membuat desa ini bebas dari perilaku buang air besar (BAB) sembarangan. Kampung Banceuy di Desa Sanca, Kecamatan Ciater, Subang, jauh dari fasilitas air bersih. Warga harus berjalan berkilo-kilo meter untuk mendapatkan air guna keperluan minum. Tak heran bila kebutuhan air dan jamban untuk buang hajat bukan jadi prioritas. Mayoritas masyarakat Kampung Banceuy BAB sembarangan. Ada yang di selokan, parit, kebun atau sungai. Kondisi ini tentu sangat mencemari lingkungan dan membawa dampak buruk pada kesehatan. Tapi itu cerita beberapa tahun yang lalu, sebelum Kampung Adat Banceuy di desa Sanca ini dinyatakan sebagai desa ODF (Open-Defecation Free atau bebas dari BAB sembarangan). Sejak Juni 2011, seluruh rumah tangga di kampung ini sudah memiliki jamban sendiri, bahkan lebih cepat dari daerah-daerah lainnya di Subang. “Dulu sebenarnya menderita dengan kondisi seperti itu (BAB sembarangan). Dulu kalau mau BAB sebelum ada air bersih masuk ke rumah, harus berlari ke selokan, ada juga yang ke kebun-kebun. Sebenarnya perilaku seperti itu juga sudah jadi sindirin, sampai ada pantunnya (untuk menyindir orang yang BAB di kebun),” papar Rohensi, Ketua RW dan tokoh adat di Kampung Banceuy, saat ditemui dalam rangka kunjungan ‘Hari Air Sedunia 2013’ di Desa Sanca, Kecamatan Ciater, Subang, Jawa Barat, dan ditulis pada Kamis (21/3/2013). Rohensi menuturkan sebenarnya tahun 1992 desanya pernah mendapat bantuan pipa besi dari UNICEF untuk mengalirkan air dari gunung ke tangki penampungan yang lebih dekat dengan rumah warga. Namun dalam beberapa tahun pipa besi tersebut mulai berkarat dan malah mencemari air. Dinas Kesehatan setempat akhirnya menyarankan untuk menggunakan pipa PVC. Dan dengan swadaya masyarakat, dibuatlah tangki-tangki yang bisa menghubungkan air langsung ke rumah-rumah warga. Tak hanya itu, Dinas Kesehatan pun memberikan arahan pada warga untuk membuat jamban di rumah sendiri. Untuk sebagian daerah, arahan ini mendapat pertentangan dari beberapa warga karena memang tidak mudah mengubah kebiasaan BAB sembarangan yang sudah berlangsung lama. Tapi bagi desa Sanca, hanya butuh 2 bulan menuju ODF. “Tadinya ada 52 KK yang tidak punya akses (jamban), tapi dalam 2 bulan sudah punya semua,” jelas Teti Sukaeti (34 tahun), Kader Desa Sanca. Desa Sanca sebenarnya bukanlah termasuk desa yang diintervensi oleh Dinas Kesehatan Jawa Barat. Terlebih lagi, desa ini masih dikenal dengan adatnya yang sangat kental. Namun perubahan drastis justru terjadi pada desa yang masih terikat adat. “Jadi di adat sini, pamali kalau wanita dan anak-anak keluar rumah malam-malam, apalagi wanita hamil. Nah, kalau mau BAB kan susah, jadinya ada yang pakai kantong kresek. Jadi pamali itu yang memicu masyarakat untuk bikin jamban sendiri,” tutur Teti dengan logat Sundanya yang kental. Namun kepercayaan ini justru jadi pemicu yang kuat bagi warga di Kampung Banceuy, desa Sanca, untuk membuat jamban sendiri di dalam rumah. Kepercayaan adat membuat program pemerintah untuk sanitasi yang baik bagi masyarakat lebih mudah terpenuhi. “Dengan punya jamban sendiri, menurunkan angka penyakit yang terkait BAB sembarangan. Sekarang kejadian diare berkurang, gatal-gatal berkurang,” tutup Teti. Sumber : http://www.ampl.or.id/digilib/read/31-berkat-percaya-mitos-kampung-adat-banceuy-bebas-dari-bab-sembarangan/48038

Sanitasi di Sekolah yang Baik Dukung Pendidikan Berkualitas

Banyak sekolah yang masih memiliki sanitasi dan sarana air bersih yang kurang memadai. Padahal, sanitasi merupakan sarana penunjang pendidikan. Tanpa sanitasi dan sarana air yang bersih membuat sekolah bisa kesulitan mencetak murid-murid yang berprestasi. “Pendidikan merupakan nilai investasi terbesar yang dimiliki oleh setiap negara. Karena itu, demi menunjang mutu kualitas pendidikan yang baik, semua kelengkapan sarana dan prasarana di sekolah juga harus diperhatikan, bukan hanya proses belajar mengajar saja,” ujar Bupati Kudus H Mustofa saat meresmikan program sanitasi sekolah dan sumur resapan bersama Managing Director Corporate Banking Bank Mandiri Fransisca N Mok, serta President Director Djarum Foundation Victor R. Hartono di Kudus, Jawa Tengah, Jumat (15/3/2013). Mustofa mengatakan, institusi pendidikan di Indonesia Indonesia masih kurang kesadaran tentang pentingnya sanitasi dan air bersih di sekolah. Di salah satu sekolah di Kudus, SMK Negeri 3 Kudus, diresmikanlah program sanitasi dan sumur resapan. Dengan program tersebut, ia berharap Kudus bisa menjadi percontohan untuk sekolah lain di Indonesia dalam meningkatkan kebersihan di sekolah. “Saya tentunya berharap, program ini dapat berharga bagi anak-anak kita di seluruh Indonesia. Bahwa program peningkatan pendidikan harus dimulai dari kelengkapan sarana prasarana yang melingkupi sanitasi dan penyediaan air bersih,” ujarnya. Sejak awal tahun 2013, program pembangunan sanitasi dan air bersih sudah dilakukan serentak di tiga lokasi. Yakni SMK Negeri 3 Undaaan, Pesantren Manalul Huda Kalirejo, dan Masjid Karang Turi di Kecamatan Kaliwungu. Sumber : http://www.ampl.or.id/digilib/read/7-sanitasi-di-sekolah-yang-baik-dukung-pendidikan-berkualitas/47997

Program Sanitasi Ampuh Menekan Diare

Gerakan sanitasi lingkungan ternyata cukup ampuh menekan tingkat penderita diare, setidaknya ini terjadi di Desa Laob, Kecamatan Polen, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.Sejak menjalankan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) bersama Plan Indonesia pada 2011, desa ini berhasil menekan angka penderita diare. Warga diminta melaksanakan lima pilar kebersihan dan kesehatan, yaitu berhenti buang air besar sembarangan, cuci tangan memakai sabun, mengelola air minum di tingkat rumah tangga, mengelola sampah rumah tangga, dan mengelola limbah cair. Sebelum ini, desa ini kerap diserang penyakit yang penularannya berkaitan dengan kesehatan lingkungan seperti diare, malaria, dan demam berdarah. “Dulu diare, malaria, demam berdarah, langganan di sini,” tutur Benyamin Mauboi (53), warga desa Laob. Ia mengisahkan sekitar tahun 2007 lalu, desanya pernah terkena wabah diare yang menelan korban jiwa beberapa warga, sedangkan Kepala Puskemas Polen Karolus Niron menyebut ada 500 kasus diare tercatat di desa itu pada 2010. Tahun 2011, setelah program sanitasi berjalan, jumlah kasus diare menurun hingga 254 kasus. Karolus mengatakan, kini setiap rumah di desa itu sudah memiliki jamban dan dia berencana melakukan penyuluhan pemanfaatan dan pemicuan peningkatan kualitas jamban. Sumber : http://www.ampl.or.id/digilib/read/78-program-sanitasi-ampuh-menekan-diare/47982